UUK No.13 Tahun 2003 vs UU Cipta Kerja 2020: Bagaimana Perbedaan Regulasi Memengaruhi Manfaat Pasca Kerja

Perbedaan Regulasi Manfaat Pasca Kerja: UUK No.13 Tahun 2003 vs UU Cipta Kerja 2020

Manfaat pasca kerja merujuk pada tunjangan, hak, atau perlindungan yang diberikan kepada karyawan setelah mereka pensiun atau mengakhiri hubungan kerja dengan suatu perusahaan. Tujuan manfaat pasca kerja adalah untuk memberikan keamanan finansial, kesejahteraan, dan perlindungan bagi karyawan setelah mereka tidak lagi aktif bekerja.

Manfaat ini menjadi hal penting yang perlu dipertimbangkan oleh karyawan ketika menjalani karir profesional. Perubahan regulasi dalam UU No. 13 Tahun 2003 (Undang-Undang Ketenagakerjaan) dan UU No.11 Tahun 2020 (Undang-Undang Cipta Kerja) telah membawa dampak signifikan terhadap manfaat pasca kerja di Indonesia. Dengan memahami perubahan regulasi ini, karyawan dan pihak terkait dapat memahami dampaknya dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengoptimalkan manfaat pasca kerja mereka.

Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di Indonesia, terdapat beberapa manfaat pasca kerja yang diatur untuk memberikan perlindungan dan keamanan bagi karyawan setelah mereka mengakhiri hubungan kerja. Beberapa manfaat pasca kerja yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 antara lain:

1. Pesangon

Karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) memiliki hak untuk menerima pesangon. Pesangon ini dihitung berdasarkan masa kerja karyawan dan gaji terakhir yang diterima sebelum PHK. Besaran pesangon ini ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pensiun

Mengatur tentang hak pensiun bagi karyawan yang telah memenuhi syarat usia pensiun yang ditetapkan. Pensiun dapat berupa tunjangan bulanan yang diberikan setelah karyawan mencapai usia pensiun atau tunjangan lainnya yang diberikan setelah karyawan mencapai usia pensiun.

3. Jaminan Hari Tua (JHT)

Karyawan yang telah memenuhi persyaratan masa kerja tertentu memiliki hak atas Jaminan Hari Tua. JHT merupakan bentuk tabungan yang dikumpulkan dari upah karyawan dan disimpan dalam program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (JSK). Dana JHT ini dapat ditarik saat karyawan mencapai usia pensiun atau mengalami keadaan khusus seperti sakit parah atau cacat.

4. Jaminan Kecelakaan Kerja

UU No. 13 Tahun 2003 mewajibkan pengusaha untuk memberikan jaminan kecelakaan kerja kepada karyawan. Jaminan ini meliputi perlindungan terhadap risiko kecelakaan atau cidera yang terjadi selama bekerja. Jika karyawan mengalami kecelakaan kerja, mereka berhak mendapatkan penggantian biaya pengobatan, santunan cacat, atau santunan kematian.

5. Asuransi Kematian

Asuransi ini memberikan perlindungan finansial kepada ahli waris karyawan jika terjadi kematian dalam masa kerja.

6. Tunjangan Hari Raya

Memberikan ketentuan tentang hak karyawan untuk mendapatkan tunjangan hari raya, seperti tunjangan hari raya Lebaran atau Natal. Tunjangan ini bertujuan untuk memberikan penghargaan kepada karyawan dan membantu mereka merayakan hari raya dengan lebih baik.

7. Cuti Tahunan

Karyawan berhak mendapatkan cuti tahunan setelah bekerja selama jangka waktu tertentu. Cuti tahunan ini biasanya diberikan dengan upah penuh dan tujuannya adalah untuk memberikan waktu istirahat dan rekreasi kepada karyawan.

 

Perubahan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak terlalu berdampak signifikan untuk manfaat pasca kerja di Indonesia. UU No. 11 Tahun 2020 lebih berfokus pada reformasi perizinan, ketenagakerjaan, dan investasi untuk memperbaiki iklim usaha di Indonesia. Namun demikian, terdapat beberapa ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang dapat berdampak pada manfaat pasca kerja, di antaranya:

1. Kemudahan PHK

UU Cipta Kerja memberikan fleksibilitas dalam pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan tujuan untuk meningkatkan kesesuaian antara tenaga kerja dan kebutuhan perusahaan. Hal ini dapat berdampak pada perubahan ketentuan pesangon atau penggantian lainnya yang terkait dengan PHK.

2. Pelatihan dan Pengembangan

Mendorong perusahaan untuk menyediakan pelatihan dan pengembangan bagi karyawan guna meningkatkan keterampilan dan kompetensi mereka. Pelatihan ini dapat memberikan manfaat pasca kerja dalam bentuk peningkatan kualifikasi dan peluang kerja setelah berakhirnya hubungan kerja.

3. Ketenagakerjaan Fleksibel

UU tersebut juga mengatur tentang ketenagakerjaan fleksibel, seperti pekerjaan berbasis waktu atau proyek, yang dapat memberikan kesempatan kerja bagi pekerja yang tidak menginginkan hubungan kerja jangka panjang. Namun, hal ini juga dapat berdampak pada manfaat pasca kerja yang lebih terbatas untuk pekerja dengan hubungan kerja yang lebih singkat.

 

Berikut perbedaan ketentuan Imbalan yang diberikan sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003 dan UU No.11 Tahun 2020:

1. Imbalan Pensiun Normal

Imbalan pensiun normal adalah tunjangan bulanan yang diberikan kepada seseorang setelah mencapai usia pensiun dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Biasanya diberikan sebagai pengganti penghasilan yang diterima selama masa kerja aktif.

a. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
1.15 x (2 x uang pesangon + 1 x uang penghargaan masa kerja)

b. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020
1.75 x uang pesangon +1 x uang penghargaan masa kerja

2. Imbalan Cacat/Sakit Berkepanjangan

Imbalan cacat/sakit berkepanjangan adalah tunjangan yang diberikan kepada seseorang yang mengalami cacat atau sakit berkepanjangan yang mengakibatkan mereka tidak dapat bekerja atau menghasilkan pendapatan seperti biasanya. Manfaat ini bertujuan untuk memberikan dukungan finansial kepada individu yang mengalami kondisi tersebut.

a. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
1.15 x (2 x uang pesangon + 1x uang penghargaan masa kerja)

b. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020
2 x uang pesangon + 1 x uang penghargaan masa kerja

3. Imbalan Meninggal Dunia

Imbalan meninggal dunia adalah tunjangan atau santunan yang diberikan kepada ahli waris seseorang yang telah meninggal dunia. Ini bertujuan untuk memberikan dukungan finansial kepada keluarga atau ahli waris yang ditinggalkan oleh individu yang meninggal.

a. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
1.15 x (2 uang pesangon + 1 x uang penghargaan masa kerja)

b. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020
2 x uang pesangon +1 x uang penghargaan masa kerja

Perbedaan dalam manfaat pasca kerja antara UUK 13 2003 dan UUCK 2020 terkait dengan beberapa perubahan dalam ketentuan dan regulasi yang diatur dalam undang-undang tersebut. Penting untuk merujuk langsung pada teks undang-undang yang berlaku untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang perbedaan-perbedaan tersebut.

 


Referensi:

UU No.13 Tahun 2003

UU No.11 Tahun 2020

Penyebab PHK yang Sah Menurut UU Cipta Kerja: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Penyebab PHK yang Sah Menurut UU Cipta Kerja: Analisis Faktor yang Mempengaruhi

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak.

Peran Undang-Undang Cipta Kerja dalam Mengatur PHK

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah sebuah proses. Ini bisa terjadi dalam dunia kerja. Di Indonesia, UU (Undang-undang) Cipta Kerja sangat penting. Peran utamanya adalah mengatur PHK. Oleh karenanya, pemahaman kita tentang PHK sangat penting. Penyebab PHK harus sesuai Undang-Undang Cipta Kerja. Materi ini bertujuan untuk analisis. Analisis tersebut tentang faktor pengaruh keputusan PHK yang berdasarkan UU Cipta Kerja.

Undang-Undang Cipta Kerja adalah kerangka hukum. Kerangkanya mengatur PHK di Indonesia. Di dalamnya, ada ketentuan-ketentuan PHK yang sah. Meski demikian, kita perlu melihat lebih jauh. Faktor-faktor pengaruh keputusan perusahaan harus dilihat. Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan struktural. Selain itu, ada produktivitas dan efisiensi. Perubahan teknologi juga termasuk. Alasan ekonomi juga menjadi faktor.

Alasan-Alasan PHK Menurut Undang-Undang Cipta Kerja

Alasan PHK merupakan faktor penting yang memengaruhi dinamika dunia kerja. PHK terjadi ketika suatu perusahaan harus mengakhiri hubungan kerja dengan seorang karyawan. Alasan PHK dapat bervariasi tergantung pada situasi dan kebutuhan perusahaan. Mengacu kepada UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan perusahaan yang:

a. melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh;

b. melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;

c. tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;

d. tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur).

e. dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;

f. pailit;

g. adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan tertentu.

h. adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada point g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja;

i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan telah memenuhi syarat sebagai berikut.

      • Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
      • Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
      • Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;

j. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;

k. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

l. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;

m. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;

n. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau

o. pekerja/buruh meninggal dunia.

Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud sebelumnya, dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pentingnya Memahami Penyebab PHK yang Sah

Penting bagi perusahaan untuk mempertimbangkan beberapa faktor. Mereka harus memastikan PHK dijalankan dengan adil. Ini sesuai dengan ketentuan hukum dan menjaga hubungan baik dengan karyawan. Perlindungan hak karyawan juga perlu diperhatikan. Upaya memberikan alternatif bagi karyawan terkena PHK sangat penting. Tujuannya menciptakan lingkungan kerja yang berkelanjutan. Penting untuk meminimalkan dampak negatif PHK. Kita perlu mempertimbangkan solusi jangka panjang yang lebih baik.

Di sisi lain, pemahaman tentang penyebab PHK sah sangat diperlukan. Dengan pemahaman ini, kita lebih siap menghadapi dinamika kerja. Kita bisa mengambil langkah tepat dalam menghadapinya. Selain itu, kita perlu memperhatikan aspek keadilan dan perlindungan pekerja. Ini sangat relevan dalam konteks PHK yang sesuai UU Cipta Kerja. Dengan demikian, kita bisa menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil. Ini juga membantu menciptakan lingkungan kerja yang berkelanjutan.